Home » » Sejak Kapan Orang Batak Naik Haji?

Sejak Kapan Orang Batak Naik Haji?

Written By marbun on Senin, 12 Mei 2025 | 15.07


Pertanyaan tentang sejak kapan orang Batak menunaikan ibadah haji ternyata menyimpan jejak sejarah yang panjang dan kaya. Tidak hanya sekadar dalam konteks keagamaan, tetapi juga dalam lintasan sejarah kebudayaan dan hubungan internasional yang telah terbentuk sejak ratusan tahun lalu. Sejarah ini tidak bisa dibatasi pada batas administratif modern, melainkan perlu dilihat dari pemahaman yang luas terhadap istilah "Batak" itu sendiri.

Dalam lintasan sejarah, nama “Sri Batak Malik Al Hindi” kerap disebut sebagai tokoh yang diduga pertama kali menunaikan ibadah haji dengan identitas yang terkait Batak.

Nama Sri Batak ini bahkan ada tertulis dalam literasi Arab, meski para ahli hadits meragukan validitasnya atau rinciannya, apakah itu nama orang, nama gelar dan beberapa pertanyaan lainnya.

Nama ini juga disandingkan dengan Rakeyan Sanchang dari Tarumanegara, yang lebih dikenal sebagai bagian dari sejarah Sunda. Banyak ahli sejarah berdebat mengenai apakah Sri Batak dan Sri Baduga (dalam ejaan Sunda) adalah tokoh yang sama atau dua identitas yang berbeda.

Selain tokoh dari era klasik itu, catatan sejarah lain menunjukkan keterkaitan leluhur masyarakat Batak dengan Kerajaan Pagaruyung. Dalam beberapa sumber berbahasa Karo, termasuk Pustaka Alim Kembaren, disebutkan bahwa para leluhur Batak, yang menjadi pendiri sebagian huta di sekitar Danau Toba melakukan perjalanan ke Mekah dan bahkan menikah dengan perempuan di sana, meski tidak disebut secara eksplisit disebut sebagai perjalanan haji.

Peninggalan sejarah pada masa Kerajaan Aceh juga menunjukkan keterlibatan aktif masyarakat Batak dan sekitarnya dalam kegiatan keagamaan, termasuk haji. Tokoh-tokoh seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani dikenal mempunyai murid di nusantara dan area pendidikan atau pengajaran mereka berada di wilayah yang kini sebagian termasuk dalam budaya Batak, seperti Barus, Singkil, dan Mandailing, tergantung dari mana melihatnya.

Kehadiran nama-nama seperti Al-Singkili, Al-Fansuri, dan Al-Mandili di Mekah pada masa itu menunjukkan betapa eratnya keterlibatan masyarakat kawasan barat Sumatera dalam jaringan Islam internasional. Nama-nama tersebut sekaligus menjadi penanda kuat keberadaan jemaah haji dari wilayah Batak dalam peradaban Islam klasik.
Salah satu figur penting yang menegaskan keberadaan orang Batak dalam sejarah haji adalah Sultan Hussin Dzul Arsa, penguasa Kesultanan Aru Barumun. Ia dijuluki “Sultan Haji” setelah mengikuti perjalanan Laksamana Cheng Ho ke Mekah dan Tiongkok pada awal abad ke-15. Dalam catatan Dinasti Ming, namanya dikenang sebagai “Adji Alasa”. Kerajaan Aru juga terkait dengan peradaban Karo dan Batak di Pusuk Buhit.

Sultan Hussin bukan satu-satunya dalam silsilah kerajaan Barumun yang menunjukkan kedekatan dengan pusat-pusat Islam dunia. Silsilah yang mencakup nama-nama seperti Sultan Malik Al Mansyur, Sultan Firman Al Karim, hingga Sultan Muhammad Al Wahid mencerminkan kesinambungan hubungan antara para penguasa Aru dan Batak dengan dunia Islam sejak abad ke-13.

Lebih jauh lagi, keterlibatan Turki Utsmani dalam menjaga jalur laut haji di sekitar Samudera Hindia membawa pengaruh besar ke wilayah Batak. Dalam silsilah Kerajaan Huristak, muncul nama “Si Turki” sebagai bukti hubungan erat antara dunia Islam global dan Batak Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel).

Rombongan Raja Guguak dari Sumatera Barat, dalam sebuah riwayat Klan/Suku Guci dan Tanjung, yang turut serta dalam ekspedisi melawan Portugis bersama Aceh dan Turki juga menjadi bukti bahwa pelayaran haji dan perjuangan melindungi jalurnya telah menjadi bagian dari sejarah kawasan ini. Dugaan keterkaitan dengan marga Rajagukguk di kalangan Batak menambah lapisan historis yang kaya dalam kisah ini.

Memasuki abad ke-18, menunaikan haji mulai menjadi hal yang lebih umum di kalangan masyarakat Batak. Salah satu contoh yang paling menarik adalah seorang Raja Sorkam, yang dikisahkan membangun kapalnya sendiri untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.

Sayangnya, pelayaran Raja Sorkam harus berakhir tragis. Kapal yang digunakan dalam perjalanan pulang tenggelam di perairan Socotra, Yaman. Meski begitu, kisah ini menjadi simbol ketekunan dan semangat religius masyarakat Batak dalam menunaikan ibadah haji, bahkan dengan segala keterbatasan teknologi saat itu.

Meski nuansa Melayu cukup kuat dalam budaya Sorkam, para keturunannya, termasuk tokoh nasional Akbar Tanjung, secara terbuka mengakui identitas Batak mereka. Ini menunjukkan bahwa identitas Batak bersifat inklusif dan terus mengalami transformasi seiring waktu.

Dalam perkembangan lebih modern, jejak orang Batak yang menunaikan ibadah haji semakin mudah ditelusuri. Seiring perkembangan transportasi dan ekonomi, haji tidak lagi menjadi sesuatu yang hanya dilakukan oleh bangsawan atau tokoh-tokoh besar.

Namun sejarah panjang itu tetap menjadi kebanggaan tersendiri. Ia menunjukkan bahwa masyarakat Batak sejak dahulu telah menjadi bagian aktif dari jaringan Islam global, tidak hanya sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku sejarah yang sejajar dengan bangsa-bangsa besar lainnya.

Kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa perjalanan spiritual orang Batak tidaklah baru, melainkan telah menjadi bagian dari tapak sejarah panjang yang menghubungkan Danau Toba, Pagaruyung, Aceh, Mekah, hingga Tiongkok.

Dari Sri Batak hingga Sultan Haji, dari Barus hingga Socotra, sejarah ini adalah warisan penting yang memperkaya identitas Batak sebagai bagian dari dunia Islam yang luas dan dinamis.

Dengan demikian, pertanyaan “Sejak kapan orang Batak naik haji?” bukanlah pertanyaan sederhana. Ia membuka pintu pada warisan sejarah yang penuh warna, spiritualitas, dan hubungan antarbangsa yang telah berlangsung selama berabad-abad.

0 komentar:

Posting Komentar

Top